Rabu, 25 Mei 2011

Padi


MANAJEMEN AGRIBISNIS TANAMAN PADI
Sejarah Singkat
           Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam.
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras.
Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut:
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisi        : Angiospermae
Kelas               : Monotyledonae
Keluarga          : Gramineae (Poaceae)
Genus              : Oryza
Spesies            : Oryza spp.
SUBSISTEM USAHA TANI : PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PERKEMBANGAN PRODUKSI, PENYEBARAN PRODUKSI DI INDONESIA, JENIS-JENIS BIBIT UNGGUL, POTENSI PRODUKTIVITAS, SYARAT-SYARAT UTAMA PERTUMBUHAN TANAMAN.


Perkembangan Luas Areal

Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti.
Departemen Pertanian (Deptan) menyediakan lebih dari 220 ribu ton benih padi untuk musim tanam (MT) 2008/2009 atau periode Oktober 2008-Maret 2009. Dari benih padi sebanyak 220.373,52 ton itu, terdiri benih bersertifikat 121.667,06 ton dan benih non-sertifikat yang disediakan sendiri oleh petani sebanyak 98.706,46 ribu ton.“Benih bersertifikat disediakan melalui bantuan pemerintah dan pasar bebas baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi,” ujar Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso di Jakarta kemarin.
Dijelaskan, dengan sasaran tanam padi seluas 7,79 hektar, maka pada periode Oktober 2008-Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 194.823,23 ton. Dengan demikian, penyediaan benih padi pada periode tersebut terdapat surplus  25.594,77 ton atau 13,11% dari kebutuhan.
Dikatakan, selama Masa Tanam 2008/2009 sasaran luas tanam terbesar pada Desember 2008 yakni 2,20 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 55.080,88 ton. Sedangkan jumlah penyediaan benih mencapai 61.139,77 ton. Kemudian Januari 2009 mencapai 1,55 juta hektar dengan kebutuhan benih potensial 38.795,68 ton dan penyediaan 43.839,11 ton. November 2008 diperkirakan kebutuhan benih potensial mencapai 33.650,60 ton untuk sasaran tanam 1,34 juta hektar dengan jumlah penyediaan sekitar 37.688,67 ton.
Sementara Maret 2009 kebutuhan benih potensial mencapai 35.886,98 ton untuk sasaran tanam 1,03 juta hektar dengan jumlah penyediaan 31.064,37 ton. Sisanya yakni untuk Oktober 2008 dan Februari 2009 dengan sasaran tanam masing-masing di bawah 1 juta hektar. “Varietas-varietas yang tersedia yakni Ciherang, IR 64, Cigeulis, Ciliwung, Cobogo dan lain- lain.           (http://www.kr.co.id, 2009)

Perkembangan Produksi

Revolusi Hijau dan revolusi bibit-bibitan mulai di­perkenalkan sekitar tahun 1960-an di berbagai negara berkembang. Tahun 1962 misalnya, di Indonesia diperkenalkan jenis padi baru produk dari Lemba­ga Penelitian Padi Internasional (IRRI: International Rice Re­search Institute) di Philipina. Padi jenis baru yang dikenal dengan nama PB 8 ini adalah hasil persilangan generasi ke-8 dari 38 persilangan antara jenis padi sedang dan jenis padi unggul PETA asal Indonesia.
Keunggulan jenis baru ini dapat hidup di berbagai ketinggian karena tidak sensitif terhadap fotosintesis, juga tidak mengenal musim. Batang dan pelepahnya kuat, tumbuhnya kokoh pada nitrogen tinggi, maka kuat menopang untaian bulir-bulir. Satu hektar sawah dapat menghasilkan 10 ton gabah, bandingkan dengan pertanian tradisional yang "cuma" menghasilkan 5 @ 6 ton gabah per hektar.
Kemudian diperkenalkan jenis-jenis padi unggul lainnya. Penyebaran bibit-bibit unggul begitu pesatnya, di tahun 1974 sekitar 54% sawah basah di seluruh Indonesia sudah di-"Revolusi Hijau"-kan. Sepuluh tahun kemudian menjadi 67% dan pada tahun 1975 varietas unggul telah memenuhi lebih dari 74% lahan sawah basah di Indonesia. Penanaman padi tradisional tersingkir ke pinggir. Bahwasanya padi tradisional masih bisa eksis, itu hanya berkat kemampuan varietas tradisional ini untuk tumbuh di tanah-tanah yang tinggi (pegunungan), di areal rawa-rawa berair dalam dan lahan-lahan yang kurang sesuai untuk padi teknologi baru.
Teknologi Revolusi Hijau paling cocok pada sawah dataran rendah, karenanya di areal ini varietas tradisonal tidak punya hidup lagi. Persilangan-persilangan jenis padi tidak hanya terjadi di Phlipina, juga di Indonesia sendiri terjadi penyilangan padi. Padi-padi silang yang dihasilkan di Indonesia diberi nama-nama sungai atau nama-nama gunung seperti Cisedane, Cimandiri,  Citarum, Semeru, Sadang, Krueng  Aceh.
Tiga jenis padi silang yang membawa Indonesia ke tingkat swasembada beras adalah padi IR 36, Cisedane dan Krueng Aceh. Panen 3 jenis padi ini berhasil meningkatkan produksi lebih dari 49% di tahun 1979 sampai 1985. Malangnya kemudian terjadi lagi wabah wereng coklat yang menyerang sekitar 100.000 hektar sawah yang ditanami jenis-jenis padi unggul tersebut. Di belakang hari masih ditemukan bibit unggul baru yang dikenal dengan padi IR 64. Namun bersamaan dengan munculnya padi jenis-jenis baru, muncul pula jenis hama-hama baru. Maka manusiapun menciptakan jenis pestisida baru untuk membunuh hama-hama baru tersebut. Itulah mata rantai yang terjadi akibat Revolusi Hijau.
Penanaman bibit-bibit unggul jenis baru, jelas menuntut perubahan praktek bertani. Sistem pertanian tradision­al tidak cocok lagi untuk menanam bibit-bibit unggul. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun saja, sistem pertanian tradisional telah digantikan oleh model baru yang meningkatkan kerawanan-kerawanan. Tetapi dapat menyebabkan rusaknya keseimbangan ekosistem, rusaknya tanah, pencemaran makanan, juga munculnya hama-hama tanaman jenis baru. Akibat hama wereng kerugian mencapai 500 juta US $ atau setara dengan panen seki­tar 3 juta ton. Situasi itu memunculkan penemuan IRRI jenis baru IR 36 dan IR 38 yang tahan hama wereng coklat, sehingga di tahun 1977 hasil panen nasional dapat dikembalikan ke tingkat semula (Sugeng, 2001).

Penyebaran Produksi di Indonesia

Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti.
Produksi padi nasional sampai Desember 1997 adalah 46.591.874 ton yang meliputi areal panen 9.881.764 ha. Karena pemeliharaan yang kurang intensif, hasil padi gogo hanya 1-3 ton/ha, sedangkan dengan kultur teknis yang baik hasil padi sawah mencapai 6 – 7 ton/ha.
Tabel Penyebaran Produksi Padi di Indonesia
No.
Daerah
Luas Panen Padi Sawah
(x 1.000 ha)
Luas Panen Padi Ladang (x 1.000 ha)
1.
Jawa
3.786
403
2.
Sumatera
1.168
708
3.
Kalimantan
448
270
4.
Bali – Nusatenggara
335
132
5.
Maluku – Irian Jaya
-
5

(Sumber : BPP Teknologi dan MiG-6 Plus / Teguh Rahayu).

Jenis – Jenis Bibit Unggul
            Balai Penyelidikan Padi di Bogor telah menemukan berbagai padi jenis unggul baru, antara lain dengan nama C4, sebagai hasil penelitian Dr. H. Siregar. Demikian juga kita mengenal jenis padi lain seperti Begawan, Peta, Remaja, Sigadis dan lainnya. Padi PB 5 dan PB 8 adalah padi jenis unggul hasil penelitian “ Internasional Rice Research Institute “ di Filipina. Nama padi itu sebenarnya IR 5 dan IR 8 kemudian di Indonesia diubah menjadi PB 5 dan PB 8. Huruf – huruf PB berasal dari singkatan Peta Baru.
            Internasional Rice Research Institute (IRRI) telah menghasilkan lagi padi jenis baru yaitu IR 24. Sifat IR 24 itu lebih disenangi oleh masyarakat Indonesiadan Filipina, nasinya lunak dan lembab. Selain itu sifat lainnya dapat dituai pada umur 120 hari dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
            Dalam penelitian selanjutnya dihasilkan penyilangan – penyilangan baru dengan nama IR 26, IR 30, IR 32, IR 36. Demikian pula balai penyelidikan padi di bogor juga menyebarkan padi – padi jenis baru antara lain VUTW atau varietas Unggul Tahan Wereng dan Cisadane. Lembaga lain yang ikut berpartisipasi dalam usaha menyilangkan untuk mendapatkan varietas padi jenis baru adalah LIPI.
Produksi Beberapa Padi Jenis Unggul
No.
Varietas
Umur Hari
Hasil Gabah kw/ha
1.
Syntha
148
35
2.
Dewi Tara
148
34
3.
PB 5
135
60
4.
PB 8
125
61
5.
C4
125 – 150
-
6.
IR 8
-
65
7.
IR 20
-
55
8.
IR 22
-
63
9.
IR 24
-
68

(Sugeng, 2001).


Potensi Produktivitas

Dengan menggunakan bibit unggul, ujarnya para petani tidak perlu menunggu lama untuk memanen padi mereka. Hanya membutuhkan waktu 105 hari saja petani sudah bisa panen padi. Padi yang dihasilkan dari bibit unggul juga mempunyai harga jual tinggi dan cukup digemari di pasaran karena rasanya enak. Ketahanan benih ini maksimal enam bulan. Dia mengungkapkan jenis bibit unggul padi yang banyak diminati petani yaitu jenis padi Ciherang.
Dia mengungkapkan penyaluran bibit unggul di Kalbar telah mencapai 160 ton.  Direncanakan pada 2007, dinas pertanian Kalbar akan membantu mensubsidi benih. Dimaksudkan untuk membantu para petani akan harga bibit unggul yang lebih tinggi dari bibit lokal dengan kualitas rendah. Bibit tersebut akan disalurkan melalui sentra-sentra bibit yang ada di daerah termasuk sentra bibit di Singbebas yaitu Singkawang, Bengkayang, dan Sambas. (http://arsip.pontianakpost.com, 2009).

Syarat – Syarat Utama Pertumbuhan Tanaman

Iklim


a.         Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan.
b.        Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi dapat menurun karena penyerbukan kurang intensif.
c.         Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperature 22-27 derajat C sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperature 19-23 derajat C.
d.        Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan.
e.         Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman.


Media Tanam

1)        Padi gogo
a.         Padi gogo harus ditanam di lahan yang berhumus, struktur remah dan cukup mengandung air dan udara.
b.        Memerlukan ketebalan tanah 25 cm, tanah yang cocok bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%.
c.         Keasaman tanah bervariasi dari 4,0 sampai 8,0.

2)        Padi sawah
a.         Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah.
b.        Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm.
c.         Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapur dengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk mendapatkan tanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus.

Ketinggian Tempat

Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi.

( Sumber : BPP Teknologi dan MiG-6 Plus / Teguh Rahayu ).







SUBSISTEM SARANA PRODUKSI : JENIS-JENIS DAN KEBUTUHAN SARANA PRODUKSI (BIBIT, PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK, PESTISIDA, HERBISIDA, KIMIA PERTANIAN, ALAT-ALAT DAN MESIN PERTANIAN, SUMBER-SUMBER PRODUKSI DAN PEMASARAN SARANA PRODUKSI


Bibit

Jenis – jenis bibit padi yang tersedia di pasaran dan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah :
-    Aek Sibundong
-    Air Tenggulang
-    Bibit Padi Angke
-    Bibit Padi Bahbutong Bah Butong
-    Bibit Padi Banyuasin Banyu Asin
-    Bibit Padi Barito
 -   Bibit Padi Barumun
-    Bibit Padi Batang Gadis
-    Bibit Padi Batang Piaman
-    Bibit Padi Batang hari
-    Bibit Padi Bondojudo
-    Bibit Padi Celebes
-    Bibit padi Ciapus
-    Bibit Padi Cibogo
-    Bibit Padi Cigeulis
-    Bibit Padi Ciherang
-    Bibit Padi Cikapundung
-    Bibit padi Cilamaya Muncul
-    Bibit Padi Ciliwung
-    Bibit Padi Cilosari

Pupuk Organik dan Pupuk Anorganik

            Pupuk organik yang digunakan sebagai pupuk dasar berupa pupuk kandang atau kompos matang sebanyak 5 ton / ha. Pupuk kandang tersebut diberikan bersamaan dengan pembajakan kedua. Cara pemberiannya dengan disebarkan secara merata ke selurauh permukaan tanah. Setelah disebarkan, pupuk tersebut dibiarkan selama 4 hari. Selanjutnya tanah sawah di garu sehingga pupuk kandang dapat menyatu dengan tanah. Terkadang untuk memperoleh pupuk kandang atau kompos matang sebanyak 5 ton agak sulit. Sebagai gantinya dapat digunakan pupuk fermentasi atau bokashi ini lebih hemat dibandingkan dengan pupuk kandang atau kompos, cukup 1,5 – 2 ton / ha.
Pupuk anorganik yang digunakan dalam penanaman tanaman padi adalah pupuk yang mengandung bahan kimia antara lain: Pupuk anorganik yang dianjurkan Urea=200 kg/ha, TSP=50-75 kg/ha dan KCl=100 kg/ha. Pupuk Urea diberikan 2 kali, yaitu pada 3-4 minggu, 6-8 minggu setelah tanam. Urea disebarkan dan diinjak agar terbenam. Pupuk TSP diberikan satu hari sebelum tanam dengan cara disebarkan dan dibenamkan. Pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu pada saat tanam dan saatc menjelang keluar malai (untuk hasil 9 ton/ha dibutuhkan N : 171 kg atau setara dengan urea 400 kg, P : 54 kg atau setara dengan 154 TSP. K : 180 kg atau setara dengan 200 KCL sedangkan dengan MiG-6 Plus 6 liter / ha dapat menghasilkan N : 90kg, P: 50kg dan K:50kg, catatan: 1 ton membutuhkan 19 kg N, 6 kg P dan 19,4 kg K).

Pestisida

Masalah besar yang dihadapi petani terutama sejak dimulainya revolusi hijau adalah serangan hama yang dapat menghancurkan tanaman. Dalam pertanian tradisional, masalah hama yang dihadapi petani tersebut  tidaklah terlalu dipusingkan karena pertani tidak merasa dirugikan. Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun masalah hama ini menjadi perhatian yang utama. Untuk menghadapi masalah tersebut petani mengembangkan suatu bahan untuk mengendalikannya yaitu, dengan pestisida. Pestisida yang merupakan insektisida atau racun pembasmi serangga ini sangat ampuh. Keampuan DDT sebagai racun pembasmi serangga ternyata diakui hampir seluruh orang. Namun Pestisida memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan juga manusia.                       (BPP Teknologi dan MiG-6 Plus, 2009).

Herbisida

Herbisida juga digunakan dalam manajemen agribisnis padi. Herbisida adalah racun yang digunakan untuk membunuh gulma atau tanaman penggangu yang ada di sekitar padi yang bersifat merugikan atau menganggu tanaman padi sehingga pada akhirnya juga akan menurunkan produktivitas tanaman padi tersebut.

Kimia Pertanian

            Untuk pertumbuhan optimal, tanaman memerlukan hara atau zat makanan yang memadai di dalam tanah. Secara alami hara tersebut terpenuhi dari serasah dedaunan dan bermacam organisme lain yang mengalami proses penguraian yang akhirnya menjadi makanan bagi tanaman. Namun untuk memacu pertumbuhannya, tanaman perlu diberi zat makanan yang kemudian dikenal sebagai pupuk.
            Penggunaan pupuk kimia kemudian diketahui mempunyai efek merusak tanah. Struktur tanah yang secara alami rendah, setelah mendapat perlakuan dengan penggunaan pupuk kimia secara simultan terus – menerus akhirnya menjadi bantat (sangat keras) (Andoko, 2002).

Alat – alat dan Mesin Pertanian

Sabit
Sabit juga merupakan satu jenis alat tradisional yang digunakan dalam bidang pertanian. Sabit adalah pisau yang melengkung dengan mata yang licin atau bergerigi.
Bagian dalam dari lengkungan berbentuk tajam, bentuk lengkung ini memudahkan dalam proses memotong dengan cara mengiris bagian bawah tanaman yang dipotong dengan cara mengayunkan seperti gerakan memarang dengan satu tangan, atau ketika untuk mengumpulkan rumput atau memanen tanaman padi tangan yang lain biasanyah memegang pokok tanaman. Ia mempunyai pemegang/ hulu yang diperbuat daripada kayu. Kegunaan alat ini yang paling utama adalah untuk memotong padi, rumput dan mengait buah seperti kelapa dan kelapa sawit. Namun begitu, penggunaannya yang paling meluas adalah untuk menuai padi di mana ia menggantikan penggunaan ani-ani yang merupakan alat utama penuai padi pada era 1960-an. Penggembala lembu dan kambing di kampung-kampung menggunakan sabit tangan untuk menyabit rumput sebagai makanan ternakan tersebut.
Alat  Perontok
Power Thresher ini dapat dipakai untuk merontokkan biji-bijian (padi, jagung dan kedelai) dan dilengkapi dengan pengayak sehingga biji-bijian yang dihasilkan relatif bersih.
Mesin Sabit   
Sabit biasa ataupun sabit bergerigi disebut juga sebagai alat pertanian. Namun teknologi panen padi yang berupa mesin sabit (Mower) dapat disebut sebagai mesin pertanian, karena tenaga penggeraknya adalan enjin (engine) 2 taks2 HP 6000 rpm dan berbahan bakar bensin campur. Bila menggunakan bahan bakar bensin murni, enjin akan mengalami kerusakan yang serius.
Penyemprot Hama
Pestisida yang dipakai dalam budidaya tanaman umumnya berbentuk cairan dan ada pula yang berbentuk tepung, digunakan untuk mengendalikan gulma, hama dan penyakit tanaman. Untuk mengaplikasikannya pestisida cair digunakan alat penyemprot yang disebut sprayer, sedangkan untuk pestisida berbentuk tepung digunakan alat yang disebut duster. Dalam penggunaannya sehari-hari petani sering menemukan masalah seperti teknik pemakaian, serta perbaikan dan pemeliharaannya. Hal seperti ini pada akhirnya akan menentukan tingkat efisisnsi dan efektivitas dalam penggunaannya. penyemprot dibedakan menjadi: alat penyemprot dengan tenaga tangan (handsprayer), dan alat penyemprot dengan pompa tekanan tinggi.
Mesin Perontok Padi Tipe Sisir
Salah satu masalah dalam usaha tani padi adalah makin langkanya tenaga kerja manusia baik untuk kegiatan prapanen maupun panen. Untuk mengatasi masalah tersebut, kini banyak diperkenalkan alat mesin pertanian salah satunya adalah mesin perontok (thresher). Jenis dan tipe alat perontok padi cukup bannyak, namun yanng populer di kalangan petani adalah gebot (manual) dan thresher (mekanis).
Perontokan gabah secara manual dengan menggunakan gebot cukup melelahkan, apalagi bila gabah sulit rontok seperti Varietas Fatmawati. Untuk varietas yang gabahnya sulit rontok, perontokan dengan thresher juga akan menurunkan kapasitas perontokan. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil tahun 1999, kehilangan hasil akibat perontokan dengan system gebot mencapai 7,5%.
Bajak
Bajak merupakan sebuah alat di bidang pertanian yang dipergunakan untuk menggemburkan tanah sebelum melakukan penanaman dan penaburan benih, juga merupakan salah satu alat paling sederhana dan berguna dalam sejarah.
Tujuan utama dari membajak adalah untuk membawa tanah bagian dalam yang subur ke permukaan. Bajak biasanya ditarik oleh seekor sapi. Walau demikian, di beberapa daerah, bajak ditarik oleh kuda. Sedangkan, di negara-negara maju, dipergunakan tenaga uap.
Salah satu jenis bajak adalah bajak singkal. Bajak singkal merupakan peralatan pertanian untuk pengolahan tanah yang digandengkan dengan sumber tenaga penggerak/penarik seperti tenaga penarik sapi, kerbau atau traktor pertanian. Bajak singkal berfungsi untuk memotong, membalikkan, pemecahan tanah serta pembenaman sisa-sisa tanaman kedalam tanah, dan digunakan untuk tahapan kegiatan pengolahan tanah pertama. Bajak singkal dirancang dalam beberapa bentuk untuk tujuan agar diperoleh kesesuaian antara kondisi tanah dengan tujuan pembajakan. Aneka ragam rancangan yang dijumpai selain pada bentuk mata bajak, juga di bagian perlengkapannya.


Sumber – Sumber Produksi dan sarana pemasaran produksi

Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso mengemukakan kepada pers, sekitar 100.000 hektar areal persawahan musim tanam 2007-2008 yang berlangsung selama periode Oktober-Maret mengalami puso dan gagal panen. Pernyataan ini mengejutkan mengingat pengaruhnya tidak kecil terhadap produksi beras nasional. Dengan perkiraan tiap hektar menghasilkan lima ton gabah kering giling (GKG), maka kehilangan akibat puso dan gagal panen mencapai 500.000 ton, atau setara 325.000 ton beras.
Kehilangan akibat gagal panen masih akan terjadi mengingat selama ini kita mengenal dua musim tanam. Selain musim tanam (MT) 2007-2008 yang biasa juga disebut tanaman padi rendeng, sistem pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung tanaman padi gadu. Tanaman padi rendeng berlangsung pada musim hujan dan tanaman padi gadu berlangsung pada musim kemarau. Kedua musim tanam itu mengandung implikasi berbeda.
Selama ini kita bukan hanya tidak berhasil mengendalikan penjarahan hutan, tetapi penghijauan yang dilakukan selama ini belum memperlihatkan hasilnya. Di Pulau Jawa setidaknya terdapat tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber pengairan dan irigasi, seperti DAS Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo, dan DAS Brantas termasuk dalam kondisi kritis.

























SUBSISTEM PENGOLAHAN : HASIL-HASIL PENGOLAHAN SAMPAI INDUSTRI HILIR (POHON PRODUKSI HASIL PENGOLAHAN), CARA PENGOLAHAN SINGKAT, RENDEMEN


Agribisnis hulu mencakup semua kegiatan bisnis/usaha untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian. Kegiatan-kegiatan ini meliputi antara lain: membuat dan menjual keperluan pertanian (pupuk organik, pestisida organik, pakan ternak, dan lain-lain), pengadaan dan menjual bibit unggul, dan lain-lain.
Sedangkan agribisnis hilir sering disebut agroindustri adalah kegiatan industri atau pengolahan bahan makanan atau makanan yang menggunakan bahan baku hasil-hasil pertanian. Di samping itu juga kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan hasil-hasil pertanian.
Pengolahan hasil pertanian adalah melakukan proses pembuatan bahan makanan atau makanan dengan bahan baku hasil tanaman atau ternak. Bahan makanan dapat dimakan harus diolah lagi, tetapi makanan dapat langsung dimakan. Contoh hasil pertanian diolah menjadi bahan makanan adalah: singkong menjadi tepung (tapioka, kasava, lainnya), kelapa menjadi minyak, buah marquisa menjadi sirup, ketan/beras menjadi tepung, daging menjadi dendeng, dan lain-lain. Sedangkan contoh hasil pertanian diolah menjadi makanan adalah singkong diolah menjadi kripik/tape/lemet/singkong goreng/lainnya, ketan menjadi uli/tape/lemper/lainnya, sagu menjadi bagea, daging menjadi abon, dan lain-lain.
Dalam proses produksi (baik biologis atau teknis) senantiasa disertai oleh produksi limbah dan hasil samping karena terjadi transformasi input menjadi output (bahan baku ke produk). Proses transformasi dalam semua sistem tidak terjadi secara sempurna tetapi dengan tingkat efisiensi tertentu. Dalam produksi pertanian, efisiensi berkisar pada rentang 5-40 persen. Hal ini terjadi pada indutri pengolahan padi, selain menghasilkan beras juga limbah (sekam dan dedak) dan hasil samping (menir).
Industri pengolahan padi (sederhana, kecil, menengah dan besar) menghadapi permasalahan penanganan limbah. Hampir semua penggilingan padi menumpuk sekam di  sekitar bangunan. Semakin hari jumlahnya bertambah. Pembuangan sulit dilakukan karena keterbatasan tempat dan biaya yang besar. Penggunaan untuk bahan bakar (bata, pengering) masih sangat terbatas. Akibatnya, muncul berbagai persoalan lingkungan seperti estetika, bau dan sumber penyakit.
Pendekatan terpadu dalam pengolahan padi, yakni menggunakan semua bagian bahan baku untuk menghasilkan berbagai produk dalam satu lini, dapat mengurangi persoalan lingkungan sekaligus meningkatkan manfaat ekonomi. Makalah ini membahas berbagai konsepsi dan dampak lingkungan, teknologi pengolahan padi, dan pemanfaatan hasil samping sebagai satu industri terpadu

Cara pengolahan Singkat

Pengolahan padi menjadi beras, secara prinsip, melibatkan tahapan yang sederhana yakni:
(i)    pemisahan kotoran,
(ii)  pengeringan dan penyimpanan padi
(iii) pengupasan kulit (husking)
(iv) penggilingan (milling), dan
(v) pengemasan dan distribusi
Pemisahan kotoran dari padi hasil panen di sawah dilakukan karena masih banyak terbawa kotoran lain seperti jerami, daun, batang bahkan benda lain yang tidak lazim seperti batu dan pasir. Kotoran ini akan mengganggu proses pengeringan terutama penyerapan kalori dan penghambatan proses pergerakan padi pada tahapan berikutnya.
Kadar air padi hasil panen sangat bervariasi antara 18–25%, bahkan dalam beberapa kasus dapat lebih besar. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sampai sekitar 14% sehingga memudahkan dan mengurangi kerusakan dalam penyosohan dan proses selanjutnya. Kadar air yang terlalu tinggi menyulitkan pengupasan kulit dan menyebabkan kerusakan (pecah atau hancur) karena tekstur yang lunak.
Penyosohan adalah pengupasan kulit padi yang merupakan tahapan paling penting dari keseluruhan proses. Penglupasan kulit adalah transformasi padi menjadi beras yang secara prinsip sudah dapat dimasak untuk dimakan. Proses selanjutnya hanyalah penyempurnaan dari penyosohan dan untuk meningkatkan kebersihan. Gabungan dari sosoh serta kebersihan dan keutuhan biji adalah ukuran mutu beras putih.
Tahapan penggilingan adalah proses penyempurnaan penyosohan dan pelepasan lapisan penutup butir beras. Teknologi penggilingan sudah sangat berkembang untuk menghasilkan beras putih yang baik. Proses ini dibagi lagi menjadi penyosohan, pemutihan (whitening)  dan pengkilapan (shining). Walaupun demikian, inti proses ini adalah untuk memisahkan lapisan penutup semaksimal mungkin.
Selain proses utama tersebut ada beberapa tambahan yakni operasi pemisahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan beras putih utuh dan murni. Oleh karena itu, proses pemisahan terdiri dari pemisahan kotoran atau bahan asing (seperti batu, daun dan benda asing lainnya) dan pemisahan beras yang kurang baik (muda, busuk, berjamur, berwarna dan rusak/pecah). Perkembangan permintaan beras tanpa kerusakan yang meningkat mendorong perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dalam konteks inilah berkembang teknologi pemisah batu, pemisah beras berdasarkan warna (color sorter), pemisah biji pecah (rotary shifter) dan pemisah biji menurut panjang (lenght grader).
 
Padi Kering Panen
105 %
Pengeringan & Penyimpanan
102 %
Padi
100 %
Beras PK
83 %
Beras Putih
72.00%
3% :Kotoran (merang, butir muda, batu, pasir, debu)
2%:Susut Simpan
17%:Sekam
11%:Dedak (9.99%), Beras Rusak (0.76%),
Beras Berwarna (0.25%)
Husker
Miller

Gambar 3. Tahapan Utama Proses Pengolahan Beras
Tahap akhir dari proses pengolahan adalah pengemasan yang ditujukan untuk memudahkan pengangkutan dan distribusi. Perkembangan terkini di bidang pengemasan menambah atribut maksud yakni estetika, dayatarik, informasi produk dan perbaikan daya simpan. Sebagai proses tambahan, dahulu kala pengemasan tidak berkembang karena selain volume pengolahan yang sangat kecil juga atribut mutu (sebagai perwujudan dari permintaan pembeli) masih sangat sedikit. Dewasa ini, teknologi pengemasan beras sudah sangat canggih yang meliputi keragaman bentuk, rupa, ukuran dan cara/metoda.

Pengolahan Padi Terpadu Berwawasan Lingkungan

Pengolahan padi terpadu bukanlah sesuatu yang sulit pada tingkat praktek. Residu yang diahasilkan dalam jumlah yang besar hanyalah sekam dan dedak. Residu yang lain dalam bentuk daun kering, tangkai atau bahan lain jumlahnya relatif kecil dan dapat ditangani dengan mudah (dibakar atau dikomposkan). Dua residu ini harus ditangani lebih lanjut melalui pengolahan (pemanfaatan ulang) atau dibuang dengan cara yang memenuhi persyaratan pembuangan limbah. Pembuangan sebagai limbah menghadapi berbagai kesulitan yaitu keterbatasan tempat dan persoalan lingkungan. Dedak yang dibuang ke lingkungan akan menimbulkan bau dan mengotori tempat pembuangan. Dedak, karena mengandung unsur hara, juga menjadi media pertumbuhan mikroba baik yang menguntungkan maupun yang berbahaya bagi kesehatan.
Sekam
Volume sekam yang dihasilkan adalah 17% dari Gabah kering giling (GKG). Untuk penggilingan padi yang berkapasitas 5 ton/jam beras putih atau sekitar 7 ton GKG/jam akan dihasilkan sekam sekitar 0.85 ton/jam atau sekitar 8.5 ton/hari. Berat ini setara dengan sekitar 25 m3/hari atau 7500 m3/tahun. Volume yang besar ini akan menjadi masalah serius dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan baik.
Sekam tersusun dari palea dan lemma (bagian yang lebih lebar)  yang terikat dengan struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam konsentrasi tinggi. Kandungan silica diperkirakan berada dalam lapisan luar (De Datta, 1981) sehingga permukaannya keras dan sulit menyerap air, mempertahankan kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya (Houston, 1972). Silica sekam dalam bentuk tridymite dan crytabolalite yang mempunyai potensi sebagai bahan pemucat minyak nabati (Proctor dan Palaniappan, 1989). Komposisi sekam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Sekam
Kandungan
Persentase
C-organik
N-total
P-total
K-total
Mg-total
SiO3
    45.06
      0.31
      0.07
      0.28
      0.16
    33.01
                                       
Sumber: Hidayati (1993)
Dari komposisi kimia sekam (Tabel 2) dapat diketahui potensi penggunaannya terbatas sebagai sumber C-organik tanah dan media tumbuh (dari kandungan karbon organik yang tinggi) serta  bahan pemurnian dan bahan bangunan (dari kandungan silica yang tinggi). Karbon yang tinggi juga mengindikasikan banyaknya kandungan kalori sekam. Proses yang diperlukan untuk pemanfaatan tersebut adalah:


Pengarangan (Carbonizing)
Pengarangan adalah proses pembakaran dengan oksigen terbatas. Arang padi mempunyai beberapa kegunaan, antara lain:
a.         Mempertahankan kelembaban: apabila arang ditambahkan ke dalam tanah akan dapat mengikat air dan melepaskannya jika tanah menjadi kering,
b.        Mendorong pertumbuhan (proliferation) mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan tanaman,
c.         Penggembur tanah: menghindari pengerasan tanah karena sifatnya yang ringan,
d.      Pengatur pH: arang dapat mengatur pH dalam situasi tertentu,
e.       Menyuburkan tanah: kandungan mineral arang adalah hara tanaman,
f.       Membantu melelehkan salju karena arang yang disebarkan di atas salju akan menyerap panas yang dapat mencairkan salju, dan
g.      Menyerap kotoran sebagai bahan pemurnian dalam pengolahan air, minyak, sirup dan sari buah.

Pembakaran
Kandungan karbon yang tinggi juga mengindikasikan bahwa sekam mempunyai kalori yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber enerji panas. Banyak penggilingan padi menengah dan besar munggunakannya sebagai bahan bakar pengering padi. Penggunaan yang sama juga dapat dijumpai pada pembakaran batu bata. 
Abu sisa pembakaran mengandung SiO2 sekitar 85% sehingga baik digunakan untuk pembuatan bahan bangunan (seperti papan semen) dan bahan pemurnian minyak (kelapa). Abu sekam memperbaiki daya serap air, kerapatan, perubahan panjang dan konduktifitas panas papan semen pulp. Penggunaan abu dalam pemucatan minyak kelapa dapat memperbaiki kejernihan.
Dedak
Persentase dedak mencapai 10% dari GKG. Penggilingan dengan kapasitas beras putih sebesar 5 ton/jam akan menghasilkan dedak sebanyak 0.7 ton/jam atau sekitar 7 ton/hari. Jumlah ini terlau besar untuk diabaikan. Volume dedak sekitar 600 liter/ton, maka akan dihasilkan sekitar 12 m3 dedak setiap harinya.
Dedak adalah bagian padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung  pati sebesar 13.8%, serat 23.7-28,6%, pentosan 7.0-8.3%, hemiselulosa 9.5-16.9%, selulosa 5.9-9.0%, asam poliuronat 1.2%, gula bebas 5.5-6.9% dan lignin 2.8-3.0% (Juliano dan Bechtel, 1985). Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan.
Berbasis pada kandungan bahannya, maka dedak dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Minyaknya dapat diambil dengan ekstraksi menggunakan pelarut, protein dan vitaminnya berguna sebagai nutrisi makanan. Namun demikian, upaya pemanfaatan tersebut secara ekonomi belum menguntungkan. Ekstraksi minyak melibatkan investasi yang besar dan hanya layak pada skala yang besar pula. Ini berarti pengolahan terintegrasi pada penggilingan tidak dapat dilakukan.
Sejauh ini, dedak bukan lagi sebagai limbah tetapi telah menjadi hasil samping yang mempunyai pasar tersendiri. Pemanfaat utama adalah industri pakan ternak. Pemanfaatan lain yang telah berkembang dan peralatannya sudah dijual secara komersial adalah mengolahnya menjadi pellet. Kandungan hara yang tinggi menjadikan pellet dedak dapat digunakan untuk makan ternak terutama unggas dan pupuk organic. Bahkan dalam kondisi aplikasi awal, pellet dedak dapat menghambat pertumbuhan gulma apabila disebarkan pada permukaan tanah.

Metode Pengolahan Padi Terintegrasi

Pengolahan padi yang telah berkembang hanya beraslah produk yang harus dihasilkan. Selebihnya dipandang sebagai limbah. Pola berpikir seperti inilah yang menyebabkan industri penggilingan padi menghadapi banyak persoalan lingkungan. Pendekatan terpadu memandang semua bagian bahan baku adalah bahan yang harus dimafaatkan untuk menghasilkan produk yang bernilai (ekonomi dan lingkungan).
Dengan pendekatan terpadu maka produk yang dapat dihasilkan dalam pengolahan terpadu dapat bermacam-macam. Beberapa model dapat dikembangkan:
a.       Model terpadu yang menghasilkan pellet dedak dan sekam lunak,
b.      Model tepadu menghasilkan pellet dedak, arang sekam dan wood vinegar,
c.       Model terpadu yang menghasilkan produk turunan dedak, arang sekam atau sekam lunak,
d.      Model terpadu yang mengembangkan kombinasi berbagai produk berbasis sekam dan dedak, dan
e.       Model terpadu menghasilkan berbagai produk berbasis dedak dan pemakaian sekam sebagai sumber enerji panas.
Semua proses ini dapat diintegrasikan dalam proses pengolahan padi beskala menengah dan besar (minimum 1 ton beras putih/jam). Secara keseluruhan, model terpadu yang layak dikembangkan dengan pertimbangan teknis dan ekonomis ditunjukkan dalam Gambar 7. Pengolahan terpadu mempunyai beberapa keuntungan antara lain tidak mencemari lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku dan memperoleh manfaat ekonomi total (baik langsung maupun tidak).
GKP
Pengeringan
Penyosohan
Pemutihan
Sekam
Pengarangan
Pelunakan
Beras Putih
Arang
Pengkomposan
Cuka Kayu
Kompos
Pemeletan
Pellet
Dedak
Abu Sekam
Media Tanam

Gambar 7. Pengolahan Padi Terintegrasi yang Secara Teknis dan Pembiayaan Layak

(http.//www:\padi\memilih-usaha-pemudatani, 2009).


SUBSISTEM PEMASARAN HASIL : SALURAN PEMASARAN DN DAN EKSPOR, PERKEMBANGAN JUMLAH EKSPOR DAN KONSUMSI DN, PERKEMBANGAN HARGA DN DAN EKSPOR, NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR



Sistem pemasaran hasil pertanian adalah suatu kompleks sistem dalam berbagai subsistem yang berinteraksi satu sama lain dan dengan berbagai lingkungan pemasaran. Dengan demikian lima subsistem yaitu sektor produksi, saluran pemasaran, sektor konsumsi, aliran (flow), dan fungsional berinteraksi satu sama lain dalam subsistem keenam, yaitu lingkungan.
Pemasaran hasil pertanian dihadapkan pada permasalahan spesifik, antara lain berkaitan dengan karakteristik hasil pertanian, jumlah produsen, karakteristik konsumen, perbedaan tempat, dan efisiensi pemasaran.  Terdapat enam macam pendekatan yang biasa digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran hasil-hasil pertanian, yaitu pendekatan komoditi (commodity approach), pendekatan kelembagaan (institutional approach), pendekatan analitis atau efisiensi pemasaran (analytical approach), pendekatan struktur tingkah laku dan penampilan pasar (SCP approach), dan pendekatan manajemen pemasaran (marketing management approach). Masing-masing pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri sehingga memerlukan pendekatan lainnya agar dapat memberikan manfaat yang lebihmenyeluruh.

Fungsi-fungsi Pemasaran

Fungsi pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilaksanakan untuk menyelesaikan proses pemasaran. Secara umum, fungsi pemasaran diklasifikasikan menjadi 3 yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan facilitating function. Masing-masing fungsi ini masih dapat dirinci lagi menjadi fungsi-fungsi yang lebih spesifik.  Beberapa fungsi penting dalam pemasaran hasil pertanian antara lain fungsi penyimpanan, transportasi, grading dan standardisasi, serta periklanan.
Fungsi penyimpanan dimaksudkan untuk menyeimbangkan periode panen dan periode paceklik. Ada empat alasan pentingnya penyimpanan untuk produk- produk pertanian, yaitu:
a) produk bersifat musiman,
b) adanya permintaan akan produk pertanian yang berbeda sepanjang tahun,
c) perlunya waktu untuk menyalurkan produk dari produsen ke konsumen,
d) perlunya stok persediaan untuk musim berikutnya.
Fungsi transportasi dimaksudkan untuk menjadikan suatu produk berguna dengan memindahkannya dari produsen ke konsumen. Biaya transportasi ditentukan oleh:
a) lokasi produksi,
b) area pasar yang dilayani,
c) bentuk produk yang dipasarkan,
d) ukuran dan kualitas produk yang dipasarkan.
Fungsi standardisasi dan grading dimaksudkan untuk menyeder-hanakan dan mempermudah serta meringankan biaya pemindahan komoditi melalui saluran pemasaran. Grading adalah penyortiran produk-produk ke dalam satuan atau unit tertentu. Standardisasi adalah justifikasi kualitas yang seragam antara pembeli dan penjual, antar tempat dan antar waktu. Fungsi periklanan dimaksudkan untuk menginformasikan ke konsumen apa yang tersedia untuk dibeli dan untuk mengubah permintaan atas suatu produk. Masalah yang timbul dalam periklanan produk-produk pertanian terutama berkaitan dengan karakteristik produk-produk pertanian itu sendiri.
Sebagai gambaran awal adalah struktur pemasaran padi yang sebagian besar juga dikuasai oleh jaringan tengkulak. Padi yang ditanam di semua wilayah Kecamatan Imogiri hampir separuhnya (49,26%) dipasarkan ke konsumen lokal melalui tengkulak. Hanya 39% hasil panen padi yang langsung dijual kepada pembeli, sementara peranan koperasi dalam distribusi padi hanya sebesar 8,12%.
Dominasi jaringan tengkulak terbesar terdapat pada struktur pemasaran padi di Desa Girirejo, yaitu sebesar 87,5%, sedangkan peranan tengkulak di Desan Kebon Agung sama sekali tidak ada karena 100% hasil padi petani sudah langsung dijual kepada pembeli.
Struktur Pemasaran Padi Tengkulak 49,26, Pembeli 39,05, Koperasi 8,12 Gilingan 3,03, Lainnya 21,25 .
Pangsa pasar padi Imogiri yang sudah tersedia dan dipasok secara berkelanjutan oleh petani Imogiri tidak menjadi jaminan bagi peningkatan kesejahteraan petani padi. Hal ini sesuai temuan empirik di atas, di mana marjin keuntungan sebagian besar justru masuk ke agen pemasaran (tengkulak) yang relatif menguasai pasar dengan lebih baik.
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007

Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010

Potensial untuk ditingkatkan lagi produktivitasnya. Selain terbatasnya sumberdaya lahan, opportunity cost usahatani padi di Jawa juga lebih tinggi, karena tajamnya kompetisi penggunaan lahan untuk tanaman padi dengan komoditas lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Hingga saat ini dan puluhan tahun ke depan, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Pada tahun 2004 rata-rata kebutuhan beras per kapita sebesar 141 kg/tahun, yang terdiri dari konsumsi langsung rumah tangga 120 kg dan penggunaan industri pengolahan pangan 21 kg. Selama periode 2005-2010, permintaan beras diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 52,3 juta ton menjadi 55,8 juta ton setara gabah (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Perkiraan neraca ketersediaan padi berdasarkan trend 2000-2010, (GKG)


Tahun

Luaspanen (000 ha)  

Produktivitas (ton/ha)   

Produksi (000 ton) 

Permintaan
(000 ton)

Neraca
(000 ton)


2004 2005 2006
2007
2008 2009
2010
11.875
11.768
11.662
11.557
11.453
11.350
11.248
4,58
4,63
4,68
4,72
4,72
4,82
4,82
54.430
54.480
54.480
54.579
54.629
54.678
54.728
52.258
52.258
53.421
54.012
54.610
55.214
55.825
+2.172
+1.643
+1.108
+567
+19
-536
-1.097




Potensi Pengembangan

Indonesia masih memiliki potensi lahan yang cukup luas untuk pengembangan tanaman padi, yaitu sekitar 24,5 juta hektar lahan basah (sawah) dan 76,3 juta hektar lahan kering. Luas potensi lahan tersebut dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut :

Lahan sawah.       

Potensi lahan sawah non-rawa pasang surut dengan kelas yang sesuai menurut klasifikasi kesesuaian lahan luasnya mencapai sekitar 13,26 juta hektar, yang tersebar di

Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010

Sumatera (2,01 juta ha), Jawa (1,12 juta ha), Bali dan Nusa Tenggara (0,85 juta ha), Kalimantan (1,03 juta ha), Sulawesi (1,11 juta ha), serta Maluku dan Papua (7,89 juta ha). Dari total luas potensi lahan sawah tersebut, yang telah digunakan baru mencapai 6,86 juta ha (BPS 2003).
Jadi, masih tersisa potensi lahan sawah yang cukup luas untuk dikembangkan budidaya tanaman padi. Namun demikian, upaya pengembangan potensi lahan tersebut, perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (1)aspek investasi yang mungkin mahal;
(2) kelanggengan fungsi dari lahan pertanian yang baru dibuka;
(3) aspek ketersediaan tenaga kerja untuk pertanian; dan
(4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem, degradasi lingkungan

Lahan rawa dan pasang surut

Luas potensi lahan rawa dan pasang surut yang sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan sawah mencapai 3,51 juta hektar, yang tersebar di Sumatera (1,92 juta ha), Jawa (0,12 juta ha), Kalimantan (1,01 juta ha), Sulawesi (0,31 juta ha), serta Maluku dan Papua (3,51 juta ha). Dari total luas potensi lahan rawa dan pasang surut tersebut, yang telah digunakan untuk lahan sawah baru sekitar 0,93 juta ha, sehingga masih ada sisa sekitar 2,57 juta hektar yang dapat dikembangkan menjadi lahan sawah (BPS 2003).

Lahan kering

Luas potensi lahan kering yang yang dapat dikembangkan untuk tanaman semusim, khususnya padi, ada sekitar 25,33 juta ha. Dari total luas potensi lahan kering tersebut, yang sudah dimanfaatkan masih relatif sangat kecil, sehingga dari lahan kering yang ada di Indonesia masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk pengembangan tanaman padi.

Arah Pengembangan

Setelah tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras untuk pertama kali, maka 20 tahun kemudian (2005) negara ini kembali dapat meraih posisi itu. Dengan pengalaman tersebut, dan mempertimbangkan arti strategis padi/beras bagi ketahanan pangan dan ekonomi nasional, maka pengembangan tanaman padi lima tahun ke depan diarahkan untuk memenuhi sepenuhnya kebutuhan beras dalam negeri (swasembada beras) secara berkelanjutan, yang

Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010

Diupayakan melalui perluasan areal panen, dan peningkatan produktivitas. Skenario pengembangan produksi padi melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas dibuat dengan mempertimbangkan kondisi agribisnis padi saat ini dan peluang peningkatan produksi berdasarkan potensi sumberdaya dan teknologi. Perluasan areal panen diproyeksikan meningkat sebesar 0,37 persen per tahun, di luar perluasan areal panen untuk kompensasi konversi lahan yang diproyeksikan meningkat sekitar 0,4 persen per tahun, sehingga secara aktual perluasan areal harus ditingkatkan sebesar 0,77 persen per tahun. Produktivitas diproyeksikan tumbuh sebesar 0,48 persen per tahun, kurang dari setengah rata-rata peningkatan produktivitas yang dicapai tahun 2001-2004. Dengan skenario ini, pada tahun 2010 target luas panen padi mencapai sekitar 12,14 juta hektar dan produktivitas sekitar 4,67 ton GKG/ha. Dengan target ini, Indonesia akan dapat mencapai swasembada beras hingga tahun 2010, bahkan dapat terus berlanjut hingga tahun berikutnya
Tabel 1.2. Skenario pencapaian swasembada beras berkelanjutan, 2005-2010 (dalam GKG)

Tahun

Luaspanen (000 ha)   

Produktivitas (ton/ha)   

Produksi (000 ton) 

Permintaan
(000 ton)

S/D
(000 ton)



2004 2005 2006
2007
2008 2009
2010
11.874
11.918
11.963
12.007
12.051
12.096
12.141
4,54
4,56
4,58
4,61
4,64
4,65
4,67
53.907 54.366
54.829 55.296
55.767 56.242
56.721
52.259 52.837
53.421 54.012
54.610
55.214
55.825
+1648
+1529
+1408
+1284
+1157
+1028
+896


Program Aksi

Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional hingga tahun 2010 akan ditempuh melalui tiga cara, yaitu :
(1)   Peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usahatani terobosan,
(2)   Peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam, pengembangan tanaman padi ke areal baru, termasuk sebagai tanaman sela perkebunan, rehabilitasi irigasi, dan pencetakan sawah baru,
(3)   Peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan peningkatan mutu produk, melalui pengembangan dan penerapan alat dan mesin pertanian (alsintan).
Pemasaran memiliki fungsi yang sangat penting dalam menghubungkan produsen dengan konsumen dan memberikan nilai tambah yang besar dalam perekonomian. Panglaykim dan Hazil (1960) menyatakan bahwa terdapat sembilan macam fungsi pemasaran yaitu: perencanaan, pembelian, penjualan, transportasi,  penyimpanan, standarisasi dan pengelompokan, pembiayaan, komunikasi, dan pengurangan resiko (risk bearing). Sebagai perusahaan, tataniaga sama pentingnya dengan kegiatan produksi karena tampa bantuan sistem tataniaga, petani akan merugi akibat barang-barang hasil produksinya tidak dapat dijual. Sistem distribusi pangan dari produsen ke konsumen dapat terdiri dari beberapa rantai tataniaga (marketing channels) dimana masing-masing pelaku pasar memberikan jasa yang berbeda. Besar keuntungan setiap pelaku tergantung pada struktur pasar di setiap tingkatan, posisi tawar, dan efisiensi usaha masing-masing pelaku. Dalam upaya peningkatan efisiensi usaha, diperlukan studi mengenai sistem pemasaran dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap pelaku pemasaran (http://www.pemasaran padi.com, 2009).



MASALAH-MASALAH UTAMA DALAM PENGEMBANGAN KEEMPAT SUBSISTEM



Agribisnis merupakan paradigma baru bagi sektor pertanian. Sistem agribisnis tidak hanya berhubungan dengan kegiatan usahatanai (sub-sistem on-farm) saja, namun juga terkait dengan sub-sistem off-farm (baik hulu maupun hilir) serta sub-sistem penunjang.
Pengembangan sistem agribisnis secara parsial merupakan hal yang dapat menimbulkan permasalahan baru lainnya. Secara ketersediaan sumberdaya, Indonesia memiliki potensi agribisnis yang sangat besar, baik di daratan maupun lautan. Sayangnya potensi yang besar ini belum dapat termanfaatkan dengan baik dikarenakan beberapa masalah besar yang dihadapi, yaitu:
1.    Penguasaan asset produksi dan skala usaha petani yang sangat kecil serta
       kemampuan permodalan usaha yang rendah
2.    Ketersediaan infrastruktur yang minim, terutama di luar Jawa, baik terkait dalam pengadaan input produksi, proses produksi, maupun paska produksi (pengolahan dan pemasaran).
3.    Produktivitas dan kualitas produk yang masih rendah dikarenakan pengusahaan yang tradisional dan belum menggunakan teknologi secara tepat
4.    Posisi rebut tawar (bargaining position) petani yang lemah dalam memperoleh nilai jual yang menggairahkan usahanya.
5. Belum adanya kebijakan terpadu dari pemerintah yang mendukung berkembangnya agribisnis di Indonesia.
Khususnya terkait dengan sub-sistem pendukung, pengembangan sistem agribisnis tidak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang terkait. Sayangnya penentuan kebijakan dan berbagai bentuk pendukung pengembagan sistem agribisnis ini tersekatsekat ke dalam berbagai instansi. Dalam kondisi seperti ini pemerintah bukannya menjadi solusi tapi justeru menjadi sumber permasalahan.
Dalam kondisi tidak efektifnya sub-sistem pendukung agribisnis yang dimotori oleh pemerintah, maka mau tidak mau para petani harus mampu memperjuangkan berbagai kepentingan mereka sendiri. Pengalaman di berbagai negara maju menujukkan bahwa koperasi pertanian merupakan wadah yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan petani ini.
Melalui koperasi diharapkan petani mampu mewujudkan kekuatan penyeimbang (coutervailing power) terhadap berbagai iklim usaha yang selama ini merugikan mereka, melakukan pengembangan pasar input dan output yang lebih menguntungkan, memperbaiki efisiensi produksi dan pemasaran, lebih baik dalam mengendalikan resiko, serta menjamin kelangsungan usaha dan meningkatkan pendapatan petani.


















PROSPEK/ PELUANG-PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS, TOTAL VOLUME BISNIS DAN GDP YANG DIHASILKAN SELURUH SUBSISTEM AGRIBISNIS



Asumsi yang digunakan untuk menghitung proyeksi permintaan beras disajikan pada Tabel 2. Dengan perhitungan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 lebih dari 296 juta, 58% di antaranya terkonsentrasi di Jawa dan 21,3% di Sumatera. Sebenarnya, dengan elastisitas pendapatan dan harga yang kurang dari satu, konsumsi beras per kapita turun dari 114,1 kg pada tahun 2003 menjadi 111,1 kg pada tahun 2010, dan 105,0 kg pada tahun 20252).
Namun, karena laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari laju penurunan konsumsi maka jumlah permintaan pangan tetap meningkat. Kalau permintaan industri diperhitungkan sebesar 23,5% dari permintaan rumah tangga dan permintaan lainnya (stok) sebesar 10%3), maka kebutuhan beras pada tahun 2010 lebih dari 35 juta ton dan pada tahun 2025 lebih dari 41 juta ton, atau meningkat masing-masing 8% dan 27% dari permintaan pada tahun 2003     (Tabel 3).
Tabel 2. Asumsi yang digunakan untuk proyeksi permintaan beras.
Parameter
Kota
Desa
1. Pertumbuhan penduduk (%/thn)
1,49
1,49
2. Elastisitas :
    a. Pendapatan
    b. Harga

0,465
-0,564

0,722
-0,564

3. Pertumbuhan
    a. Pendapatan
    b. Harga

5,0
5,0

3,5
5,0
4. Permintaan antara (% dari kons. RT)
23,5
23,5
5. Permintaan lainnya (a.l. stok)
10
10
6. Konversi GKG – beras (%)
63
63

Keterangan:
1. BPS (2001), dianggap sama dengan pertumbuhan periode 1990-2000
2. Harianto (2001)
3. Suryana dan Hermanto (2004)
Tabel 3. Permintaan beras dalam periode 2005 - 2025, menurut wilayah (000 ton).
Wilayah
2003
2005
2010
2015
2020
2025
Sumatera
7.433
7.601
8.037
8.499
8.987
9.504
Jawa
18.611
19.019
20.081
21.202
22.386
23.637
Bali & Nusteng
1.961
2.005
2.120
2.242
2.371
2.507
Kalimantan
1.798
1.838
1.944
2.055
2.173
2.298
Sulawesi
2.362
2.416
2.556
2.704
2.862
3.028
Maluku & Papua
399
408
432
457
484
512
Indonesia
32.563 (52.138)
33.287 (52.837)
35.170 (55.825)
37.160 (58.984)
39.263 (62.323)
41.487 (65.852)

Dengan skenario swasembada absolut (kecukupan 100%) yang digunakan, maka untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan peningkatan produksi padi berturut-turut sebesar 0,6 juta ton (1,3%); 3,7 juta ton (7,1%); 6,8 juta ton (13,1%); 10,2 juta ton (26,3%); dan 13,7 juta ton GKG (26,3%) dari produksi tahun 2003.
Kalau skenario swasembada ontrend (kecukupan 95%) yang digunakan , yaitu mentoleransi impor beras sebesar 5% maka untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 diperlukan peningkatan produksi berturut-turut sebesar 0,9 juta ton (1,7%); 3,8 juta ton (7,5%); 7,1 juta ton (13,6%); dan 10,4 juta ton GKG (20%).
Sulawesi dan Kalimantan mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri hingga tahun 2025, bahkan diperkirakan berpeluang mencapai swasembada absolut. Sebaliknya, Jawa akan menjadi beban bagi daerah lain untuk memenuhi kebutuhan beras. Bilamana impor beras sebanyak 5% dimungkinkan, maka Jawa masih harus mendatangkan2,1 juta ton GKG pada tahun 2010; 3,8 juta ton pada tahun 2015; 5,6 juta ton pada tahun 2020; dan 7,5 juta ton pada tahun 2025.
Ke depan, permintaan beras tidak hanya menyangkut aspek kuantitas, tetapi juga kualitas, nilai gizi, aspek sosial budaya di masingmasing daerah, dan perkembangan teknologi agroindustri (http://agri-research.or.id, 2009).
GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto dalam Bahasa Indonesia, adalah satu dari beberapa indikator yang mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi.
Gross atau kotor dapat diartikan sebagai nilai depresiasi dari barang modal (Capital Stock) yang tidak dimasukan dalam perhitungan. Konsumsi dan Investasi dalam persamaan diatas adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa akhir (siap pakai). Ekspor dikurangi impor (juga dikenal sebagai ekspor bersih)  melalui persamaan ini dapat diartikan sebagaiselisih dari nilai barang yang diproduksi didalam negeri tetapi tidak dikonsumsi di dalam negeri dikurangi dengan nilai barang yang ada yang dikonsumsi buatan luar negeri (import) (www.wikipedia.org, 2009).






KUNCI-KUNCI (FAKTOR UTAMA) PENGEMBANGAN AGRIBISNIS, KEBUTUHAN PENGEMBANGAN SUBSISTEM PENDUKUNG (PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BARU, PENGEMBANGAN SDM, PERKREDITAN PERMODALAN, PRASARANA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH)



             Beberapa faktor yang dapat mendorong dalam usaha pengembangan agribisnis dikedua lokasi studi antara lain :
Pertama,  Ketersediaan air. Kedua lokasi studi telah memiliki prasarana fisik jaringan irigasi, yang sangat membantu dalam kelancaran pendistribusian air untuk kebutuhan komoditi yang dibudidayakan petani. Kondisi daerah irigasi Batukohok, sejak mulai dibangun irigasi tahun 1950-an kecenderungannya terus membaik.
            Kedua, Prasarana fisik. Kondisi jalan sudah beraspal sehingga transportasi relatif mudah dijangkau, sehingga mobilitas petani untuk berhubungan dengan pasar di kota, maupun untuk dihubungi para tengkulak/bakul atau pihak lain yang membutuhkan produk yang dihasilkan dikedua lokasi untuk membeli hasil produksi pertanian baik yang masih bersifat bahan baku maupun bahan jadi berupa anyaman tikar mendong yang banyak diproduksi oleh masyarakat Kamulyan. Hal ini ditunjang jarak kedua lokasi dari Ibu kota Kabupaten (Tasikmalaya) dan ibu kota propinsi masih relatif dekat kurang lebih 8-20 km ke Tasikmalaya dan 106-120 kam ke ibu kota propinsi.
Ketiga, Kelembagaan yang menunjang sistim agribisnis di kedua lokasi telah cukup memadai Kelembagaan tersebut meliputi; KUD, TPK, Kios, Balai Benih Ikan (BBI), Kelompok tani, P3A, pasar, bakul/tengkulak, BRI Unit Desa dan BKPD.
            Keempat, Pengalaman dan respon petani. Petani dikedua daerah irigasi cukup berpengalaman dalam berusaha tani, di daerah irigasi Batukohok petani telah melaksanakan mina padi dan penanaman komoditi sayuran sejak tahun 1950-an. Pada awalnya hanya untuk konsumsi sendiri, sejak tahun 1960-an sudah mulai dijual dipasar lokal atau melalui tengkulak langsung di lokasi, untuk usaha tani longyam (balong ayam) baru dikenal awal tahun 1994. Sedangkan untuk daerah irigasi Cimulu, masyarakat petani melaksanakan bertanam padi dan membudidayakan tanaman mendong sejak tahun 1940-an.
            Kelima, Kebijaksanaan Pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya terutama untuk pengembangan komoditi tanaman mendong cukup kondusif khususnya untuk wilayah kecamatan manonjaya dan Awipari, yang dari dulu merupakan daerah pengrajin mendong. Kondisi tersebut telah sesuai dengan program pencanangan komoditi tanaman mendong menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Tasikmalaya (http://psdal.lp3es.or.id/kajian1.html, 2009).







HASIL ANALISIS EKONOMI/ STUDI KELAYAKAN AGRIBISNIS (PRODUKSI USAHATANI DAN HASIL OLAHAN)



Komoditi pertanian yang umumnya diusahakan oleh masyarakat di Provinsi NTT yaitu komoditi tanaman pangan (jagung, padi, dan ibu kayu), Tanaman perkebunan (kopi, jambu mete, kelapa, kemiri, kapuk dan vanili).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya Unit Pengelolaan Gabah Beras (UPGB) dapat menurunkan margin pemasaran baik ditingkat produsen gabah (petani) maupun ditingkat konsumen (tingkat pedagang pengecer beras). Disamping itu, umumnya margin pemasaran beras pada Divre Daerah Istimewa Yogyakarta dipengaruhi oleh harga beras ditingkat produsen (petani), volume penjualan dan jumlah lembaga pemasaran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa margin pemasaran beras paling kecil terjadi jika petani melakukan penjualan langsung kepada UPGB dan lembaga pemasaran yang paling besar margin pemasaran yang terjadi adalah melalui jalur PP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
1)    Pengembangan agribisnis benih padi berlabel khususnya di kabupaten … cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan pengembangan produk dan pengembangan informasi pasar dan jaringan kerja serta pembanguna sarana dan prasarana yang digunakan dalam mengembangkan agribisnis dan mencapai target kelompok petani.
2)    Strategi yang perlu dilakukan dalam pengembangan agribisnis benih padi berlabel di Kabupaten … adalah melakukan suatu aksi untuk meningkatan sumber daya manusia serta mengembangkan jalur pemasaran guna tercapainya target kelompok petani, serta meningkatkan modal kerja para pengrajin.
Keseluruhan luas hamparan sawah irigasi yang terdapat di Desa Bumi Restu sebanyak 1.375 hektar, namun yang berpotensi seluas 835 hektar. Dari luasan tersebut jenis padi yang dikembangkan merupakan jenis padi yang memiliki rasa enak dan bertekstur pulen. Pengembangan padi di Desa ini menggunakan jenis yang sebagiannya tidak jelas, dan jumlahnya sebanyak 25 jenis.
Jenis ini merupakan jenis padi yang terbanyak ditanam petani, yang dapat dijadikan sebagai varietas unggul spesifik lokasi. Keunggulannya tidak mudah rontok saat berbuah, rasa nasi enak dan cenderung pulen, serta agak tahan terhadap walang sangit dan wereng. Produksi beras dengan menerapkan teknologi yang dikembangkan petani desa setiap musimnya, selama ini berkisar antara 0,4 – 1,5 ton dan belum dapat mencapai 2,0 ton. Hasil pengamatan awal memperlihatkan bahwa kebanyakan petani belum menerapkan sistem usahatani yang baik, terutama dalam pengolahan tanah, jarak tanam, penggunaan umur bibit yang layak, disamping penggunaan pupuk yang terbatas dengan menyesuaikan pada kemampuan modal yang disediakan sebelumnya. Kedalaman tanah olahan yang diterapkan petani mencapai 10 – 13 cm, jarak tanam 15 x 15 cm, umur bibit yang digunakan 30 – 35 hari, kadang dipupuk dan terkadang tidak dipupuk dengan mengandalkan pada keramahan dan kemurahan alam semata.
Luas hamparan sawah yang dimiliki setiap petani, rata ratanya sebesar 1,0 hektar. Penguasaan lahan sawah yang labih luas dari standar tersebut, hanya dapat dijumpai apabila petani tersebut memperolehnya sebagai pembelian dari petani yang tidak mau menggarap lahannya dan menjual kepada petani yang merangkap sebagai pedagang / pengusaha lokal.  Kondisi hamparan sawah petani yang mengikuti kajian ini, keseluruhannya telah memenuhi teknis pembuatannya secara sempurna, namun dalam hal perbaikan pematangnya untuk menghindari kelebihan masuknya air, terkadang masih belum diperhatikan dengan baik. Karena itu, kadang ada petakan yang kelebihan air dan kadang ada petakan yang benar benar kekurangan air.
Keterampilan membuat / mencetak sawah yang dimiliki petani kajian ini, didapat dari pengalaman merekja sewaktu berada di daerah asalnya ( Jawa ).   Penerapan paket teknologi sistem usahatani pada petani di Desa Bumi Restu Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara.
Hasil Analisis usahatani padi yang dilakukan terhadap 14 petani sampel setempat, memperlihatkan data bahwa pemasaran produk dalam bentuk beras yang diproduksi / diusahakan, akan lebih menguntungkan dibanding dengan mengusahakan pemasaran produknya dalam bentuk gabah.
Keuntungan Pemasaran gabah, memang agak lebih rendah dibanding beras.  Namun keuntungan beras, selalu dapat diperoleh manakala pasaran yang berlaku saat itu cukup stabil tidak dipermainkan secara rendah oleh spekulan.  Keuntungan pemasaran dalam bentuk beras ditunjukkan oleh B/C rationya mencapai 2,22, nilai BEP nya mencapai 1.209,6 dan nilai ROI nya mencapai 1,21. Sedangkan produk gabah memiliki B/C ratio nya mencapai 1,74   nilai BEP nya mencapai  992,1 dan nilai ROI nya mencapai 0,74.


DAFTAR PUSTAKA


Andoko, A., 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta.


http://agri-research.or.id., 2009. Komoditas Pasca Panen. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.

http://arsip.pontianakpost.com., 2009. Subsistem Agribisnis. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2009.


http://www.kr.co.id., 2009. Agribisnis Padi. Diakses Tanggal 19 Oktober 2009.

http://www.merauke.asia. Faktor Agribisnis. Diakses Tanggal 19 Oktober 2009.


http://www.pemasaran padi.com., 2009. Padi. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.

karyamitrausaha@yahoo.com. Diakses tanggal 19 Oktober 2009.
                                               
Sugeng, H. R., 2001. Bercocok Tanam Padi. CV Aneka Ilmu, Semarang.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar