Kamis, 26 Mei 2011

Subsistem Penelitian dan Pengembangan Cabai


BAB I

SUBSISTEM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Penelitian

Rasa pedas pada cabai ditimbulkan oleh zat capsaicin. Capsaisin terdapat pada biji cabai dan pada plasenta, yaitu kulit cabai bagian dalam yang berwarna putih tempat melekatnya biji. Rasa pedas tersebut bermanfaat untuk mengatur peredaran darah; memperkuat jantung, nadi, dan saraf; mencegah flu dan demam; membangkitkan semangat dalam tubuh (tanpa efek narkotik); serta mengurangi nyeri encok dan rematik. Penelitian terakhir di Washington, USA menyebutkan bahwa mengkonsumsi cabai secara teratur dapat menunda kerentaan tubuh. Zat capsaicin ini juga mampu meraangsang burung ocehan untuk gemar bernyanyi (ngoceh) dan konon juga dapat merangsang ayam atau itik untuk bertelur. Tentu saja cabai yang diberikan dalam bentuk cabai halus atau cabai kering      (Prajnanta, 2004)
            Penelitian di Case Western Reserve University, Cleveland, tahun 1991 menunjukkan bahwwa pendeita penyakit tulang dapat disembuhkan atau berkurang rasa sakitnya setelah menggunakan krim capsaicin empat kali sehari. Capsaicin juga mengandung zat ekspektoran yang aktif meredakan batuk, mengencerkan lender, dan meringankan penyakit asma. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa masyarakat yang gemar masakan pedas cenderung terhindar dari penyakit bronchitis (Prajnanta, 2004).
            Meskipun banyak manfaatnya, cabai juga diduga mempunyai efek yang kurang menguntungkan bagi kesehatan. Orang yang kondisi tubuhnya sangat sensitive apabila memakan masakan pedas akan mudah mengalami kejang perut dan diare. Menurut American Journal Epidemic tahun 1994, orang yang gemar masakan pedas kemungkinan mendapat resiko kanker perut 5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak memakan cabai. Oleh karena itu meskipun kondisi tubuh cukup kuat menerima masakan pedas, namun konsumsi cabai yang berlebihan harus tetap dikendalikan (Prajnanta, 2004).

Pengembangan

Beberapa faktor yang dapat mendorong dalam usaha pengembangan agribisnis di lokasi studi antara lain :
1.  Ketersediaan air.
Lokasi telah memiliki prasarana fisik jaringan yang sangat membantu dalam kelancaran pendistribusian air untuk kebutuhan komoditi yang dibudidayakan petani.
2. Prasarana fisik. Kondisi jalan sudah beraspal sehingga transportasi relatif mudah dijangkau.
3. Kelembagaan yang menunjang sistim agribisnis di kedua lokasi telah cukup memadai Kelembagaan tersebut meliputi; KUD, TPK, Kios, Balai Benih Ikan (BBI), Kelompok tani, P3A, pasar, bakul/tengkulak, BRI Unit Desa dan BKPD.
4. Pengalaman dan respon petani.
5. Kebijakan Pemerintah


BAB II

SUBSISTEM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENYUHAN

Pendidikan

Ketidakmampuan dalam mengelola sumber daya alam untuk menghasilkan bahan pangan merupakan bencana besar bagi suatu negara karena akan menyebabkan ketergantungan terhadap negara lain dalam penyediaan pangan bagi rakyat. Pengembangan pendidikan pertanian harus menjadi salah satu prioritas dalam pengembangan sistem pendidikan dalam upaya menegakkan kemandirian bangsa. Bila "kemandirian bangsa" itu diubah dengan "kedaulatan", yaitu bila pertanian untuk menghasilkan pangan bukan lagi prioritas, bangsa ini tidak akan lagi berdaulat. Bangsa yang sumber pangannya bergantung pada bangsa lain. Bila sebuah bangsa mencapai posisi itu, jadi di manakah "kemerdekaan dan kedaulatan bangsa". Rupanya pola pikir penulis adalah bangsa merdeka dan berdaulat adalah bangsa yang mampu menyediakan sendiri pangan di dalam jumlah cukup dan berimbang.
Pola pikir ini perlu didukung, karena sangat aneh bila untuk makan sehari-hari satu bangsa harus impor atau yang lebih memalukan harus berutang atau lebih memalukan lagi harus dibantu bangsa lain. Sebaliknya, sebagai sebuah bangsa yang berlokasi di sekitar equator yang cahaya mataharinya berdurasi panjang dan lahan subur (kata moyang kita), bangsa ini harus mampu memproduksi untuk bangsa sendiri plus untuk membantu bangsa lain yang kondisinya kurang subur dan kurang cahaya matahari.
Dengan demikian, para praktisi pendidikan tinggi pertanian dan semua pihak yang peduli dengan nasionalisme dan kedaulatan, sebaiknya mulai mengkampanyekan realisasi "nasionalisme dan kedaulatan" dengan makan dari hasil kerja putra-putri bangsa, sangat ironis dan menyakitkan bila makanan tradisional dibuat dari bahan impor (misalnya lumpia dan bakpia menggunakan gandum sebagai bahan baku, kecuali gandum produksi nasional). Syaratnya produksi pertanian melimpah.
Sebuah butir penting lainnya yang berdampak pada pendidikan pertanian adalah pernyataan beliau "dunia sekarang adalah dunia citra". Sektor pertanian tidak memiliki citra yang dapat diketengahkan, bukan PDA, bukan vodka, mungkin bukan dasi dan kantor mewah. Citra harus dibentuk, tidak akan tumbuh sendiri. Sayangnya, sektor ini tidak memiliki personel atau lembaga pembentuk citranya. Juga, profesi "petani" berbeda dengan profesi dokter, akuntan dan ekonom. Yang disebut terakhir ini masuk sebagai profesi, dengan anggota kelompok terdidik dan terlatih. Kelompok "profesi" pertama -- petani -- adalah profesi tradisional, turun-temurun, tidak terdidik dan terlatih. Karena tidak terdidik dan terlatih, mereka digambarkan tidak dapat keluar dari lingkaran keterbelakangan. Jadi tantangan yang dihadapi oleh para praktisi pendidikan tinggi pertanian dan pemeduli, adalah membangun citra pertanian yang "modern", yang "Barat", "yang chick", yang "wangi", yang "computer based".
Memang absurd bila dicermati bahwa icon produk Sleman yaitu cabai belum digarap dengan serius oleh perguruan tinggi. Padahal tantangannya sangat banyak agar dapat masuk ke pasar global, sebagai upaya mengembangkan citra icon tersebut. Tantangan itu antara lain keseragaman ukuran, keseragaman warna, rasa dan sebagainya, termasuk juga shelf life yang cukup tinggi agar dapat diekspor. Pada saat yang sama petani Bantul harus menderita karena produk cabainya berharga rendah, bila dijual begitu saja. Ironisnya, tidak ada pakar teknologi pangan dan juga lembaga pendidikan tinggi pertanian yang turun tangan membantu petani cabai Bantul dengan mengenalkan teknologi pengolahan pangan sederhana. Beberapa pakar yang sempat belajar di luar negeri misalnya di Amerika Serikat mestinya pernah melihat acar cabai buatan Thailand. Mestinya teknologinya murah sudah tersedia. Ironisnya lagi kejadian itu selalu berulang sehingga nampak seperti ritual tahunan (yang tragis).
Bila dipikirkan, hampir semua produk pertanian dapat mengembangkan citra pelaku dan citra daerah asal, sesungguhnya di sanalah profesi petani tidak dapat diabaikan. Di masa lalu tak seorang pun yakin bahwa suatu saat Lampung akan menjadi lumbung pisang. Mestinya produk yang sudah memiliki pasar ditunjang dengan pendidikan, pelatihan profesi dan penelitian. Jadi pendidikan tinggi yang mengemban triple excellence (pendidikan, penelitian, penyuluhan ke masyarakat) dapat memilih beberapa kepakaran dalam bidang komoditas pertanian, baik pangan maupun bukan pangan. Kepakaran itu sebaiknya spesifik lokasi.
Produk teletongnya bila jumlah besar dapat digunakan untuk pupuk organik setelah diperas gas metannya. Pupuk organik digunakan untuk memupuk bahan pangan atau bahan baku industri atau komoditas dagang (buah, bunga, sayur). Kawasan kritis yang ditanami dengan HMT akan membaik kualitas lingkungannya. Mungkin banjir dan kekeringan dapat dihindari dan dicegah. Belum lagi hasil kulit dapat dibuat sepatu (pseudo Bally atau Salamander) dan jok mobil (pseudo Connoly leather). Produk susu adalah bahan baku industri yang memiliki kaitan kebelakang yang luas dan dibutuhkan masyarakat. Demikian pula daging yang dapat diproses menjadi berbagai produk. Agar persepsi "pertanian" berubah, perubahan dimulai dari pendidikannya.
(http://nasih.staff.ugm.ac.id, 2009).

Penyuluhan

Penyuluhan Pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, social maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.
            Pada prinsipnya metoda penyuluhan dapat digolongkan sesuai dengan macam-macam pendekatannya :
A.    Dilihat dari Segi Komunikasi
Metoda penyuluhan dapat digolongkan kedalam 2 (dua) golongan yaitu :
1.        Metoda-metoda yang langsung (direct Communication/face to face Communication) dalam hal ini penyuluh langsung berhadapan muka dengan sasaran Umpannya: obrolan ditempat peternakan, dirumah, dibalai desa, di kantor, dalam kursus tani, dalam penyelenggaraan suatu demonstrasi dan lain-lain.
2.        Metoda-metoda yang tidak langsung (indirect Communication)
          dalam hal ini penyuluh tidak langsung berhadapan secara tatap muka dengan sasaran, tetapi dalam menyampaikan pesannya melalui perantara (media)

B.     Penggolongan Berdasarkan Pendekatan Kepada Sasaran
            Penggolongan ini berdasarkan hubungan jumlah dan penggolongan dari pada sasaran adalah :
1.        Metoda Berdasarkan Perorangan
Dalam hal ini para penyuluh berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan sasaran secara perorangan.
Umpamanya :
a.         Kunjungan ke rumah petani, ataupun petani berkunjung kerumah penyuluh dan kekantor.
b.         Surat menyurat secara perorangan.
c.         Demonstrasi pilot.
d.        Belajar perorangan, belajar praktek.
e.         Hubungan tilpon
2.        Metoda dengan pendekatan kelompok
Dalam hal ini penyuluh berhubungan dengan kelompok sasaran umpamanya :
a.         pertemuan (contoh : di rumah, di saung, di balai desa, dan lain-lain.
b.         Perlombaan.
c.         Demonstrtasi cara/hasil.
d.        Kursus tani.
e.         Musyawarah/diskusi kelompok/temu karya.
f.          Karyawisata.
g.         Hari lapangan petani (farm field day).
(http://www.google.co.id, 2009).
BAB III
SUBSISTEM PENGADAAN INFORMASI PETANI

Informasi Iklim

Cabai dapat hidup pada daerah yang memiliki ketinggian antara 01.200 m dpl. Berarti tanaman ini toleran terhadap dataran tinggi maupun dataran rendah. Jenis tanah yang ringan ataupun yang berat tak ada masalah asalkan diolah dengan baik. Namun, untuk pertumbuhan dan produksi terbaik, scbaiknya ditanam pada tanah berstruktur remah atau gembur dan kaya bahan organik. Sedang pH tanah yang dikehendaki antara 6,0-7,0.
Curah hujan 1500-2500 mm pertahun dengan distribusi merata dengan suhu udara 16° - 32 ° C dan pada saat pembungaan sampai dengan saat pemasakan buah, keadaan sinar matahari cukup (10 - 12 jam).
(http://www.pustaka-deptan.go.id, 2010).

Informasi Produksi

            Pengumpulan data luas panen dan produksi cabai oleh instansi yang berwenang masih belum diperinci berdasarkan jenisnya (cabai merah besar, cabai keriting, cabai hijau, dan cabai rawit). Penurunan luas panen terbesar terjadi pada tahun 1990, yaitu sebesar 63% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selama kurun waktu tersebut, rata-rata 58% dari total luas panen per tahun merupakan luas panen komoditas cabai yang terbesar di Jawa. Sementara itu, produksi total cabai secara kontinu terus meningkat sejalan dengan peningkatan rata-rata hasil per hektar. Peningkatan produksi dan produktivitas usahatani cabai yang tertinggi dicapai pada tahun 1990. Sejak tahun 1990, produktivitas usaha tani cabai meningkat rata-rata 14% per tahun. Secara lengkap data tentang perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas usaha tani cabai dari tahun 1988-1992 tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Usaha Tani Cabai pada Tahun 1988-1922

Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kuintal/ha)
1988
340.976
448.722
13,16
Perkembangan tahun 88 terhadap 87

47,97%
2,87%
-30,48%
1989
438.398
489.503
11,17
Perkembangan tahun 89 terhadap 88

28,57%
9,09%
-15,12
1990
162.283
569.604
35,10
Perkembangan tahun 90 terhadap 88

-62,98%
16,36%
23,93
1991
168.061
627.169
37,32
Perkembangantahun 90 terhadap 89

3,56%
10,11%
2,22%
1992
162.519
703.799
43,31
Perkembangan tahun 92 terhadap 91
3,29%
12,21%
16,05
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1994

Informasi Harga Pasar

Harga cabai di pasaran kini rata-rata melonjak dari Rp24.000 menjadi Rp40.000 per kilogram. Lonjakan harga itu disebabkan perubahan cuaca memasuki musim penghujan.
Menurut Menteri Pertanian Suswono, kenaikan harga cabai juga disebabkan permintaan yang meningkat. "Harga di petani sangat tinggi, bisa Rp40.000, karena cuaca dan memang produksi-produksi menurun di sentra-sentra cabai," ujar Suswono di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin 28 Juni 2010.
Untuk mengantisipasi perubahan cuaca, menurut mentan, dalam jangka panjang pihaknya akan menyediakan bibit adaptif. Selain itu, pembenahan pola tanam juga harus diperhatikan karena banyak munculnya penyakit.
(http://www.ciputraentrepreneurship.com, 2010).            

Informasi Permintaan

            Konsumsi per kapita untuk berbagai jenis cabai pada umumnya menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat seperti pada tabel 1. Kecuali untuk cabai rawit permintaannya relative stabil, angka indeks menunjukkan kenaikan konsumsi yang cukup pesat untuk cabai hijau dan cabai merah. Perlu diperhatikan bahwa angka konsumsi cabai hijau per kapita pada tahun 1987 sangat diragukan akurasinya sehingga interpretasi angka tersebut perlu dilakukan secara berhati-hati.
Tabel 1. Konsumsi Cabai per Kapita Tahun 1981 – 1990
Komoditas
Konsumsi (kg/ tahun)
Angka Indeks

1981
1984
1987
1990
1981
1984
1987
1990
Cabai hijau
0,16
0,13
0,53
0,21
100
81
331
131
Cabai Rawit
1,28
1,22
1,08
1,17
100
95
84
91
Cabai Merah
1,11
0,89
1,01
1,18
100
80
91
100
Sumber : van lieshout, 1992
            Peningkatan permintaan terhadap suatu komoditas tidak saja dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, tetapi juga oleh elastisitas pendapatan komoditas yang bersangkutan. Elastisitas pendapatan yang dimaksud adalah rasio antara persentase perubahan kuantitas produk yang dikonsumsi dengan persentase perubahan pendapatan. Semakin tinggi elastisitas pendapatan suatu komoditas, semakin tinggi pula peningkatan permintaannya jika pendapatan meningkat. Elastisitas pendapatan untuk cabai merah, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, ternyata selalu lebih tinggi dibandingkan dengan elastisitas pendapatan cabai hijau dan cabai rawit. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan di daerah perkotaan dan pedesaan dapat menyebabkan adanya laju permintaan yang lebih cepat terhadap cabaimerah dibandingkan dengan kedua jenis cabai lainnya. Mengacu pada data konsumsi tahun 1990, van Lieshout (1992) mengestimasi permintaan cabai untuk tahun 2000. Tabel 2 menunjukkan bahwa perkiraan permintaan untuk cabai merah pada tahun 2000 menempati urutan teratas dengan persentase kenaikan per tahun yang tinggi disbanding cabai hijau dan cabai rawit.
Tabel 2. Perkiraan Permintaan Rumah Tangga Terhadap Cabai pada Tahun 2000

Komoditas
Elastisitas Pendapatan 1981-1990
Permintaan (ton)
Kenaikan per Tahun (%)

Indonesia
Kota
Desa
1990
2000
Cabai hijau
1,31
0,96
1,42
208.086
427.018
7,5
Cabai Rawit
0,64
0,53
0,83
36.570
58.373
4,9
Cabai Merah
0,13
0,05
0,19
207.191
246.264
1,7
Sumber : van Lieshout, 1992
            Selain permintaan untuk rumah tangga, permintaan terhadap cabai juga dating dari subsector industri pengolahan bahan makanan. Berbagai kelompok industry pengolahan makanan memerlukan cabai sebagai bahan baku utama atau bahan baku campuran. Walaupun kurang lengkap, data yang tersedia (tabel 3) menunjukkan bahwa permintaan subsector ini terhadap cabai juga terus meningkat.


Tabel 3. Permintaan Industri Pengolahan Terhadap Cabai Tahun 1989-1990

Kelompok Industri
1989(ton)
1990(ton)
1.        Industrii macaroni, bihun, dan sejenisnya
29
111
2.        Industri Kecap
1.117
1.374
3.        Industri Kerupuk, emping, karak, dan sebagainya
69
14
4.        Industri makanan lainnya
250
2
5.        Industri pelumatan buah-buahan dan sayuran
-
278
6.        Industri pati lainnya
-
2
7.        Industri makanan dari kacang-kacangan
-
3
8.        Industri berbagai macam kerupuk
-
14
9.        Industri makanan sejenis kerupuk
-
19
10.    Industri bumbu masak
-
415
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1994















BAB IV
SUBSISTEM PERKREDITAN DAN PENGADAAN MODAL

Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal Kerja

Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha budidaya cabai merah dibedakan menjadi dua  yaitu  biaya  investasi  dan  biaya modal  kerja  (eksploitasi).
Biaya  investasi  adalah  komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal pendirian usaha yang meliputi biaya  persiapan, sewa lahan/areal usaha dan peralatan.
Biaya modal kerja/eksploitasi adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi dalam hal ini pada awal proyek. 
Biaya Investasi
Biaya  investasi atau disebut  juga  sebagai biaya  tetap adalah biaya dalam pengertian  short run, yaitu biaya yang tidak berubah  (selalu sama), atau tidak terpengaruh terhadap besar kecilnya produksi.  Biaya  investasi  dalam  usaha  budidaya  tanaman  cabai merah meliputi  biaya  persiapan, sewa  tanah  dan  peralatan.
Biaya Operasional
Biaya eksploitasi atau biaya modal kerja selalu tergantung pada besar kecilnya produksi per periode waktu.  Biaya  operasional  ini meliputi  biaya  sarana  produksi  pertanian  dan  biaya  tenaga kerja.  Sementara itu, modal kerja awal yang dibutuhkan sebesar Rp. 15.099.000,- di mana modal kerja  awal  ini merupakan  kebutuhan  dana  yang  diperlukan  untuk membiayai  aktivitas  budidaya cabai merah pada masa tanam  I  (pertama). Modal kerja tersebut digunakan untuk budidaya pada lahan seluas satu Ha.

Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Kebutuhan  dana  untuk  usaha  budidaya  cabai merah  terdiri  dari  kebutuhan  investasi  dan modal  kerja. Dana  investasi dan modal  kerja  tersebut  ada  yang bersumber dari pembiayaan  LKS dan  dana  milik  sendiri.  Dana  yang  dibutuhkan  untuk  investasi  awal  sebesar  Rp.  5.529.000,-. Sedangkan  kebutuhan  modal  kerja  untuk  1  kali  masa  tanam  (siklus  produksi)  sebesar                         Rp. 15.099.000,-. Pada alternatif pertama (usaha baru), kebutuhan dana investasi untuk pengadaan peralatan dan  kebutuhan  biaya  operasional  untuk  pengadaan  benih  serta  sarana  produksi  pertanian diasumsikan berasal dari pembiayaan LKS.
Komponen biaya yang lain dianggap sebagai bagian dari kontribusi  nasabah  dalam  usaha  yang  bersangkutan.  Sedangkan  pada  contoh  perhitungan alternatif kedua  (usaha berjalan) seluruh kebutuhan biaya  investasi diasumsikan telah dimiliki oleh pengusaha  yang  bersangkutan,  sementara  kebutuhan  biaya  modal  kerja    yang  berasal  dari pembiayaan LKS hanya untuk pengadaan sarana produksi budidaya cabai merah. 





BAB V
SUBSISTEM PENGANGKUTAN DAN JASA PENUNJANG PERDAGANGAN

Pola perdagangan cabai merah juga sangat bervariasi antar tingkat pedagang. Pada pedagang kecil di bulan-bulan normal dapat mencapai volume jual antara 50 - 80 kilogram per hari, sedang pada bulan-bulan puncak dapat mencapai volume 200 - 300 kilogram. Pada pedagang menengah volume perdagangan pada bulan-bulan normal mencapai 500 kilogram per hari, sedangkan pada panen raya dapat mencapai volume jual 1000 kilogram.
Petani umumnya menjual dengan cara ditimbang, namun terdapat pula yang dijual dengan cara ditebaskan, terutama bagi yang tidak bermitra. Rata-rata volume penjualan cabai per petani berkisar antara 500 - 1000 kilogram, dan sebagian besar cara pembayaran dilakukan dengan tunai. Dalam hal harga, para petani mencari informasi baik dari pedagang, petani lain, maupun mencek langsung ke pasar Harga cabai merah dapat dipengaruhi oleh luas panen bukan hanya di tingkat desa, namun juga di luar desa, kabupaten, bahkan antar propinsi.
Keterlambatan pengiriman dalam perdaganganpun sangat berpengaruh pada harga di tingkat produsen, karena cabai merah yang datang pada waktu yang lebih akhir cenderung mempunyai nilai jual lebih rendah dibanding yang datang dipasar lebih awal. Oleh karena itu harga cabai merah sangat berfluktuatif baik antar tahun, musim, bulan, hari, bahkan antar jam. Biaya pemasaran yang terdiri dari penyortiran, pengepakan, pembongkaran, penyusutan dan pengangkutan dapat mencapai Rp 1000/kg. (http://www.tbtlkm@bi.go.id, 2009).

BAB VI
SUBSISTEM PENGADAAN PRASARANA

Kondisi jalan sudah beraspal sehingga transportasi relatif mudah dijangkau, sehingga mobilitas petani untuk berhubungan dengan pasar di kota, maupun untuk dihubungi pihak lain yang membutuhkan produk yang dihasilkan dilokasi untuk membeli hasil produksi pertanian baik yang masih bersifat bahan baku maupun bahan jadi.
Ketersediaan air. Lokasi studi telah memiliki prasarana fisik jaringan irigasi, yang sangat membantu dalam kelancaran pendistribusian air untuk kebutuhan komoditi yang dibudidayakan petani.
Transportasi memegang peranan penting dalam usaha mencapai tujuan pengembangan ekonomi dalam suatu bangsa. Adapun tujuan pengembangan ekonomi yang bisa diperankan oleh jasa transportasi adalah :
1) Meningkatkan pendapatan nasional, disertai dengan
distribusi yang merata antara penduduk, bidang usaha dan daerah.
2) Meningkatkan jenis dan jumlah barang jadi dan jasa yang dapat dihasilkan para konsumen, industri dan pemerintah.
3) Mengembangkan industri nasional yang dapat menghasilkan devisa sera men –supply pasaran dalam negeri.
4) Menciptakan dan memelihara tingkatan kesempatan kerja bagi masyarakat.
Fungsi lain transportasi adalah untuk mengangkut penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain
(http://herodigeo.blogspot.com, 2010).
BAB VII
SUBSISTEM PENGADAAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

            Pemerintah senantiasa menunjukkan perannya dalam intervensi pasar untuk komoditas-komoditas "politik" seperti cabai. Pada atau menjelang musim panen raya, pemerintah menetapkan harga dasar (floor price) cabai sebagai suatu tingkat harga terendah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani. Harga patokan terendah tersebut dimaksudkan agar petani, dalam hal ini bertindak sebagai produsen, tidak mengalami kerugian atas komponen-komponen biaya produksi dan pengeluaran lain. Sedang pada musim paceklik atau musim tanam, pemerintah biasanya menetapkan harga atas (ceiling prince) yang bertujuan untuk melindungi konsumen, termasuk petani sebagai salah satu anggota masyarakat luas. Harga pasar di luar tingkat harga tersebut biasanya mengarah pada pasar gelap dan pasar bebas yang biasanya mudah dijumpai pada sistem-sistem perekonomian sentralisasi seperti di bekas negara Uni Soviet dahulu dan lain-lain.
            Sejauh ini mekanisme operasi pasar yang meliputi pembelian stock beras pada musim panen dan pengadaannya pada musim tanam oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog) beserta perangkat depot-depotnya di tiap provinsi bekerja sama dengan KUD setempat, tidak mengalami hambatan yang berarti. Beberapa masalah di lapangan biasanya berkaitan dengan tingkah laku sebagian pelaku ekonomi yang curang (shirking) serta permainan keputusan sepihak yang berhubungan dengan kadar air, tingkat patahan dan tingkat kotor, dan sebagainya.
Hal yang lebih krusial adalah kesungguhan pemerintah serta pihak-pihak lain yang terkait untuk melakukan operasi pasar pada komoditas cabai, tetapi tidak pada komoditas lainnya.
Sangat masuk akal jika ada yang menghubungkan tindakan pemerintah yang "tepat waktu" dalam operasi pasar sangat berhubungan dengan kekuatan lobi masyarakat perkotaan yang juga mempunyai kepentingan untuk menjaga agar harga beli cabai tidak terlalu tinggi. Dominasi pihak konsumen untuk menetapkan harga dasar gabah mungkin sedikit lebih kuat diban- ding dengan keinginan petani agar dapat memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraannya. Apakah gejala demikian masih valid pada situasi sekarang atau di mana elastisitas pendapatan terhadap konsumsi cabai tidak setinggi satu atau dua dekade yang lalu, tampaknya masih memerlukan penelusuran yang lebih mendalam.
Sedangkan sesuatu yang tampak di depan mata adalah bahwa lobi masyarakat perkotaan - dan beberapa industri makanan yang menggunakan cabai sebagai salah satu bahan bakunya - tampak lebih kuat dibandingkan dengan lobi petani dalam pro-ses perumusan kebijakan publik yang berhubungan dengan operasi pasar komoditas cabai.
Masih segar dalam ingatan, pemerintah benar-benar "turun gunung" melakukan operasi pengadaan komoditas cabai di lapangan, khususnya dalam menanggulangi krisis cabai menjelang hari raya (Lebaran) pada bulan Maret lalu. Sesuatu yang harus diwaspadai oleh berbagai pihak adalah tentang mekanisme dan proses kemitraan yang dilakukan pihak swasta dengan Koperasi Unit Desa (KUD) yang dianggap sebagai wakil-wakil petani tersebut. Adakah suatu kebebasan atau sampai sejauh mana kebebasan petani untuk menciptakan dan mencari peluang-peluang pemasaran baru yang lebih menguntungkan.
Kembali kepada pokok permasalahan tentang intervensi pasar, beberapa kalangan menganggap, tindakan tersebut sudah termasuk kategori operasi pasar untuk komoditas cabai. Beberapa hal tersebut masih belum dapat dikatakan operasi pasar, karena pemerintah tidak menetapkan harga dasar tertentu, atau pun melakukan pembelian di beberapa sentra produksi cabai di Jawa Tengah. Jika hal terakhir ini yang terjadi, hipotesis tentang lemahnya bargaining position petani baik secara ekonomis maupun secara politis mendekati kenyataan dan sangat mungkin bahwa kelak akan menimbulkan ketergantungan pasar bagi petani yang tentunya sangat tidak diharapkan.
Langkah Konkret Berbagai butir uraian tersebut, sebenarnya dapat diformulasikan suatu langkah konkret ke depan dalam upaya mengatasi masalah fluktuasi harga cabai, dan produk-produk pertanian pada umumnya. 
(http://www.tbtlkm@bi.go.id, 2009).









DAFTAR PUSTAKA

http://herodigeo.blogspot.com., 2010. Transportasi Pertanian. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://nasih.staff.ugm.ac.id., 2009. Pendidikan Pertanian. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://psdal.lp3es.or.id/kajian1.html,2009. Cabai. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://www.ciputraentrepreneurship.com., 2010. Harga Cabai Menggila. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://www.google.co.id., 2009. Penyuluhan Pertanian. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://www.pustaka-deptan.go.id., 2010. Budidaya Tanaman Cabai. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

http://www.tbtlkm@bi.go.id., 2009. Perdagangan Cabai Merah. Diakses pada tanggal 23 September 2010.

Prajnanta, 2004. Budidaya Tanaman Cabai. Penebar Swadaya, Yogyakarta.